Pemilu
(Pemilihan Umum) di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya
ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen
keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh
rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai
bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan
sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah
"pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Sejarah Pemilu
Pemilihan umum diadakan
sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999,
2004 dan 2009.
Apa
itu Pemilu ?
Pemilu
adalah suatu proses
di mana
para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini
beraneka-ragam, mulai dari Presiden,
wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Padakonteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti
proses mengisi jabatan-jabatan sepertiketua
OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan'
lebih seringdigunakan.Sistem pemilu
digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen,
dan kepada merekalah para peserta Pemilumenawarkan
janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanyedilakukan selama waktu
yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukanoleh
aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dandisetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan
ke para pemilih.
Undang-undang / Peraturan yang
menjadi dasar pelaksanaan Pemilu
ASAS PELAKSANAAN PEMILU waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di
dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)UUD
1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan
umum dengan undang-undang.Asas Pemilu
Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
Karena itu, asas jujur dan adil iniseharusnya
dijunjung tinggi oleh aparat pemerintah, termasuk aparat Polri yang dalam pemilu harus bertindak netral dan tidak
memihak. ''Penyimpangan terhadap asas ini yangdilakukan oleh aparat pemerintah termasuk aparat Polri akan mengakibatkan
timbulnyakeraguan masyarakat terhadap kemurnian hasil pemilu,'' katanya.Dia mengatakan, berdasarkan kajian panwas,
pelanggaran terhadap asas pemilu padahakikatnya
adalah penyimpangan yang lebih serius daripada penyimpangan administratif dan pidana. Pelanggaran ini bisa disebut sebagai
pelanggaran pemilu. Karena itu, panwasmerekomendasikan
kepada Polri untuk menerima dengan baik hasil klarifikasi dan pengkajian kasus VCD yang dilakuan panwas.
Selanjutnya mengambil tindakan yangtepat terhadap aparatnya yang
melanggar asas pemilu.
Sistem
Pemilu yang berlaku di Indonesia
Sampai
tahun 2009 bangsa indonesia sudah sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan,
yaitu dari tahun 1955, 1971,1977, 1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009.
semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum,
melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan
umum tersebut. Dari pemilu yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya
upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh
kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara
dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan
September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan
Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam
pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada
pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan
intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27
partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat
diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah
selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU
ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait
dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2.
Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah
pada bulan November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden
Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi
Terpimpin tidak diadakan pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi
Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan
suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk
mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar
tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik
secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa
berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik.
Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik
dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya,
terutama di bidang ekonomi.
Karena
gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden
Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara
partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan
Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar).
Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam
perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
4
. Zaman Reformasi (1998- 2009)
Ada satu lembaga baru di dalam
lembaga legislatife, yaitu DPD ( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan
umum anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi
untuk setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system
proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya
secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama
kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan
melalui MPR lagi.
Kelemahan Pemilu di Indonesia
Kelemahan
Pemilu di Indonesia adalah salah satunya money politic. Money politic (politik
uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau
memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut
dalam pemilu, padahal praktek money
politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.
Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas
terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas
di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena
lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut.
Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi
sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang
benar-benar anti money politic.
Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya
mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money politic ini
sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem
demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda
dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di
Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit
politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk
melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai
kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah
Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK)
karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu
membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan
penanganan yang lebih serius.
Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk
mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar
tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu
juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan
apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang
yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan
serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen
untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak
melakukan money politic.
Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber
pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula
mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu
sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan
mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang
melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislatif yang terpilih tersebut
membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya
pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Sadarilah apabila
kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan
rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan
bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat
dalam demokrasi secara langsung meningkat.
Perlu keseriusan
dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai
yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal tersebut dapat membantu
menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur
dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi.
Sumber :
http://hennidamanik.blogspot.com/2012/11/sistem-pemilu-di-indonesia.html