Jam

Senin, 11 Maret 2013

Demokrasi


Pemilu (Pemilihan Umum) di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Sejarah Pemilu
Pemilihan umum diadakan sebanyak 10 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Apa itu Pemilu ?
Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Padakonteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan sepertiketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih seringdigunakan.Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilumenawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanyedilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukanoleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dandisetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Undang-undang / Peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu
ASAS PELAKSANAAN PEMILU waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2)UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang.Asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Karena itu, asas jujur dan adil iniseharusnya dijunjung tinggi oleh aparat pemerintah, termasuk aparat Polri yang dalam pemilu harus bertindak netral dan tidak memihak. ''Penyimpangan terhadap asas ini yangdilakukan oleh aparat pemerintah termasuk aparat Polri akan mengakibatkan timbulnyakeraguan masyarakat terhadap kemurnian hasil pemilu,'' katanya.Dia mengatakan, berdasarkan kajian panwas, pelanggaran terhadap asas pemilu padahakikatnya adalah penyimpangan yang lebih serius daripada penyimpangan administratif dan pidana. Pelanggaran ini bisa disebut sebagai pelanggaran pemilu. Karena itu, panwasmerekomendasikan kepada Polri untuk menerima dengan baik hasil klarifikasi dan pengkajian kasus VCD yang dilakuan panwas. Selanjutnya mengambil tindakan yangtepat terhadap aparatnya yang melanggar asas pemilu.
Sistem Pemilu yang berlaku di Indonesia
            Sampai tahun 2009 bangsa indonesia sudah sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan, yaitu dari tahun 1955, 1971,1977, 1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009. semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung didalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
         1.      Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
            Dalam pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27 partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi  Parlementer berakhir.
         2.      Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada bulan November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi Terpimpin tidak diadakan pemilihan umum.
         3.      Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
            Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
            Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.

4 .        Zaman Reformasi (1998- 2009)
            Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD ( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi untuk setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.

Kelemahan Pemilu di Indonesia
            Kelemahan Pemilu di Indonesia adalah salah satunya money politic. Money politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan tersebut dalam pemilu, padahal praktek  money politic merupakan praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.
Lemahnya Undang-Undang dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat. Maraknya praktek money politic ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic. 
Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data untuk membuktikan sumber praktek tersebut,  namun ironisnya praktek money politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan penanganan yang lebih serius.

Solusi Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku. Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya didiskualifikasi saja.
 Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak melakukan money politic.
Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut. Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislatif yang terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
 Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang bersih dan bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat.
 Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal tersebut dapat membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi.


Sumber :
http://hennidamanik.blogspot.com/2012/11/sistem-pemilu-di-indonesia.html








Tidak ada komentar:

Posting Komentar